Popular Post

Pengertian Ibadah


Ibadah secara etimologi berasal dari kata bahasa Arab yaitu “abida-ya’budu-‘abdan-‘ibaadatan” yang berarti taat, tunduk, patuh dan  merendahkan diri. Kesemua pengertian itu mempunyai makna yang  berdekatan. Seseorang yang tunduk, patuh dan merendahkan diri dihadapan yang disembah disebut “abid” (yang beribadah)
Kemudian pengertian ibadah secara terminologi atau secara istilah
adalah sebagai berikut :
1.    Menurut ulama tauhid dan hadis ibadah yaitu:
“Mengesakan dan mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri
dan menundukkan jiwa kepada-Nya”
2.    Para ahli di bidang akhlak mendefinisikan ibadah sebagai berikut:
“Mengerjakan segala bentuk ketaatan badaniyah dan melaksanakan segala
bentuk syari’at (hukum).”
3.    Menurut ahli fikih ibadah adalah:
“Segala bentuk ketaatan yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah
SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.”
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’am : 162)



Hakikat Ibadah

Tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah  kepada Allah SWT. Ibadah dalam pengertian yang komprehensif menurut  Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT berupa perkataan atau perbuatan baik amalan batin ataupun yang dhahir (nyata). Adapun hakekat ibadah yaitu:
1)   Ibadah adalah tujuan hidup kita. Seperti yang terdapat dalam surat  Adz-dzariat ayat 56, yang menunjukan tugas kita sebagai manusia adalah untuk beribadah kepada Allah.
2)   Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah.
3)   Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan  meninggalkan larangan-Nya.
4)   Hakikat ibadah sebagai cinta.
5)   Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu yang dicintai Allah).
6)   Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah  SWT.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan  supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. Adh-Dhāriyāt : 56)



Fungsi Ibadah

Setiap muslim tidak hanya dituntut untuk beriman, tetapi juga dituntut untuk beramal sholeh. Karena Islam adalah agama amal, bukan hanya keyakinan. Ia tidak hanya terpaku pada keimanan semata, melainkan juga pada amal perbuatan yang nyata. Islam adalah agama yang dinamis dan menyeluruh. Dalam Islam, Keimanan harus diwujudkan dalam bentuk amal  yang nyata, yaitu amal sholeh yang dilakukan karena Allah. Ibadah dalam  Islam tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan hubungan antara manusia  dengan Tuhannya, tetapi juga untuk mewujudkan hubungan antar sesama   manusia. Islam mendorong manusia untuk beribadah kepada Allah SWT dalam semua aspek kehidupan dan aktifitas. Baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Ada tiga aspek fungsi ibadah dalam  Islam:

1.    Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.

Mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya dapat dilakukan  melalui “muqorobah” dan “khudlu”. Orang yang beriman dirinya akan  selalu merasa diawasi oleh Allah. Ia akan selalu berupaya menyesuaikan  segala perilakunya dengan ketentuan Allah SWT. Dengan sikap itu  seseorang muslim tidak akan melupakan kewajibannya untuk beribadah,  bertaubat, serta menyandarkan segala kebutuhannya pada pertolongan  Allah SWT. Demikianlah ikrar seorang muslim seperti tertera dalam Al- Qur’an surat Al-Fatihah ayat 5

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami  meminta pertolongan.”

Atas landasan itulah manusia akan terbebas dari penghambaan terhadap  manusia, harta benda dan hawa nafsu.

2. Mendidik mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya
Dengan sikap ini, setiap manusia tidak akan lupa bahwa dia adalah  anggota masyarakat yang mempunyai hak dan Kewajiban untuk menerima dan  memberi nasihat. Oleh karena itu, banyak ayat Al-Qur'an ketika  berbicara tentang fungsi ibadah menyebutkan juga dampaknya terhadap  kehidupan pribadi dan masyarakat. Contohnya: Ketika Al Qur'an berbicara tentang sholat, ia menjelaskan fungsinya:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari  (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat  Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang  lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat ini Al-Qur'an menjelaskan bahwa fungsi sholat adalah  mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.Perbuatan keji dan mungkar  adalah suatu perbuatan merugikan diri sendiri dan orang lain. Maka  dengan sholat diharapakan manusia dapat mencegah dirinya dari perbuatan  yang merugikan tersebut. Ketika Al-Qur'an berbicara tentang zakat, Al-Qur'an juga menjelaskan  fungsinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu  membersihkan dan mensucikan mereka dan Mendoalah untuk mereka.  Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan  Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”Dan masih banyak ibadah-ibadah lain yang tujuannya tidak hanya baik bagi diri  pelakunya tetapi juga membawa dapak sosial yang baik bagi  masyarakatnya. Karena itu Allah tidak akan menerima semua bentuk  ibadah, kecuali ibadah tersebut membawa kebaikan bagi dirinya dan orang  lain. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa yang sholatnya tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji  dan munkar, maka dia hanya akan bertambah jauh dari Allah” (HR.  Thabrani)

3 . Melatih diri untuk berdisiplin
Adalah suatu kenyataan bahwa segala bentuk ibadah menuntut kita untuk  berdisiplin. Kenyataan itu dapat dilihat dengajn jelas dalam pelaksanaan  sholat, mulai dari wudhu, ketentuan waktunya, berdiri, ruku, sujud dan  aturan-aturan lainnya, mengajarkan kita untuk berdisiplin. Apabila kita  menganiaya sesama muslim, menyakiti manusia baik dengan perkataan maupun perbuatan, tidak mau membantu kesulitan sesama manusia, menumpuk  harta dan tidak menyalurkannya kepada yang berhak. Tidak mau melakukan “amar ma'ruf nahi munkar”, maka ibadahnya tidak bermanfaat dan tidak bisa menyelamatkannya dari siksa Allah SWT.

IBADAH MAHDHAH DAN GHAIRU MAHDHAH
Ibadah Mahdhah (Ibadah Khusus)
Ibadah mahdhah dimaknai secara sempit, yaitu segala ketentuan,   peraturan dan dalil hukumnya yang ditetapkan oleh nash (Qur‟an dan Hadits) dan terjabarkan -dalam rukun Islam. (hablum minallah) Contoh : Shalat, puasa, zakat & haji
Ibadah Ghairu Mahdhah (Ibadah Umum)
Ibadah yang mengandung segala amalan yang diizinkan oleh Allah. Dengan  demikian ibadah ini mengandung unsur hubungan antar sesama manusia  dengan Allah, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam  sekitar dan lain sebagainya. (hablum minannaas) Contoh : sedekah,  gotong-royong, menolong orang tua

Menggapai Ibadah Yang Berkualitas
Manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala- galanya. Hal ini sesuai dengan tabiatnya, bahwa manusia itu lemah, fakir dan butuh kepada Allah.Untuk itu umat Islam harus meyakini dan mempercayai bahwa setiap jengkal kehidupannya merupakan wujud dari ibadah, maka pada waktu itu Allah akan menggangkat derajatnya. Dengan demikian, hidup adalah pengabdian kepada Sang pencipta, pengapdian yang tercermin dari aktivitas-aktivitas kesehariannya, guna mencari ridho dari Allah semata-mata.

Lalu Ibadah Yang Berkualitas Itu Seperti Apa?
Ibadah yang berkualitas adalah ibadah yang dikerjakan semata-mata karena Allah, di jalan Allah, dengan Allah dan untuk Allah. Maksudnya, aktifitas yang kita lakukan bernilai ibadah manakala dilakukan semata-mata hanya karena Allah, dan apa yang yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Allah (syari’at Islam yang mengacu pada Qur’an-Hadits), demi menggapai ridho-Nya.  Ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan bernilai sebagai bentuk pengapdian kepada Allah manakala dilaksanakan secara serampang dan asal-asalan, atau justru merusak dalam pelaksanaan ibadah itu sendiri

Ada Beberapa Hal Yang Harus Diperhatikan Oleh Setiap Muslim Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Ibadahnya
-          Menjadikan ibadah tersebut tetap hidup dan bersambung dengan Allah
-          Menjadikan ibadah penuh dengan kekhusu’an
-          Beribadah dengan menghadirkan hati dengan penuh kesadaran
-          Hindari sikap puas dan merasa cukup dalam menjalankan suatu ibadah
-          Melatih, membiasakan dan menjaga diri untuk melakukan shalat malam
-          Menjadikan do’a sebagai mi’raj kepada Allah dalam setiap unsur kehidupan

Ibadah yang Bagaimanakahyang lebih utama itu?

-          Yang lebih utama  ialah yang lebih berat dikerjakan
-           Yang utama ialah menjauhkan dari  kemewahan duniawi
-           Ibadah yang paling utama ialah yang bermanfa'at kepada orang lain
-           Yang utama ialah bahwa setiap sa'at adalah untuk  beribadah


Sumber Hukum yang Digunakan Dalam Beribadah
Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai dasar mutlak untuk menentukan hukum, karena kedudukannya dijadikan sebagai sumber ajaran Islam yang sarat dengan nash yang bermuatan syari’at Islam. Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) Ijtihad  adalah mencurahkan segenap berfikir dalam menggali dan menetapkan suatu  hukum.







MACAM-MACAM IBADAH DITINJAU DARI BERBAGAI SEGI

A. Dari Segi Ruang Lingkupnya.

1.    Ibadah khashsah

Ibadah Khashsah yaitu ibadah yang ketentuan dan caranya pelaksanaannya secara khusus sudah ditetapkan oleh nash, seperti  shalat, zakat, puasa dan haji

2.    Ibadah ‘ammah

yaitu semua perbuatan baik yang dilakukan dengan niat yang baik dan semata-mata karena Allah SWT (ikhlas), seperti makan  dan minum, bekerja, amar ma’ruf nahi munkar, berlaku adil, berbuat baik  kepada orang lain dan sebagainya.

B. Dari Segi Bentuk dan Sifatnya.
- Ibadah yang berupa perkataan dan ucapan lidah, seperti: tasbih,  tahmid, tahlil, takbir, taslim, do’a, membaca hamdalah oleh orang  bersin, tasymit (menyahuti) orang bersin, memberi tahniyah (salam),  khutbah, menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar, bertanya mengenai  sesuatu yang tidak diketahui, menjawab pertanyaan (memberi fatwa),  mengungkapkan persaksian (syahadah), membaca iqamah, membaca adzan,  membaca Al-Qur’an, membaca basmalah ketika hendak makan, minum dan  menyembelih binatang, membaca Al-Qur’an ketika dikejuti syaitan dan  lain-lain sebagainya.
- Ibadah-ibadah berupa perbuatan, seperti menolong orang yang karam  atau yang tenggelam, berjihad di jalan Allah SWT, membela diri dari  gangguan, menyelenggarakan mayat dan mandi.
- Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu  pekerjaan. Termasuk kedalam ibadah ini, ibadah puasa, yaitu menahan  diri dari makan, minum dan dari segala yang merusak puasa.
- Ibadah-ibadah yang terdiri dari melakukan dan menahan diri dari  suatu perbuatan, seperti ‘itikaf (duduk dirumah Allah) serta menahan  diri dari ijma’ dan mubasyaroh (bergaul dengan istri), haji, tawaf,  wukuf di Arafah, ihram serta menahan diri ketika haji atau umrah dari  menggunting rambut, memotong kuku, jima’, nikah dan menikahkan,  berburu, menutup muka oleh para wanita dan menutup kepala oleh lelaki.
- Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak, seperti membebaskan  orang yang berhutang dari hutangnya dan memaafkan kesalahan dari orang  yang bersalah dan memerdekakan budak dengan kaffarat.
- Ibadah-ibadah yang meliputi perkataan, pekerjaan, khudu’,  khusyu’, menahan diri dari berbicara dan dari berpaling lahir dan batin  dari yang diperintahkan kita menghadapinya, seperti shalat. Shalat di  pandang sebagai ibadah yang paling utama, karena shalat melengkapi perbuatan-perbuatan yang lahir dan batin, melengkapi ucapan-ucapan dan menahan diri dari berbicara serta menahan diri dari memalingkan hati dari Allah SWT.
C. Dari Segi Sifat, Waktu,Keadaan, dan Rukunya
1. Muadda, yaitu ibadah yang dikerjakan dalam waktu yang ditetapkan syara’. Ibadah tersebut dilakukan pada waktu yang ditetapkan itu untuk pertama kalinya, bukan sebagai pengulangan. Pelaksaan ibadah ini disebut dengan ibadah tunai (ada’).
2. Maqdhi, yaitu ibadah yang dikerjakan sesudah keluar waktu yang ditentukan syara’. Ibadah ini bersifat sebagai pengganti yang tertinggal, baik Karena disengaja atau tidak, seperti tertinggal karena sakit atau sedang dalam berpergian. Pelaksanaan ibadah ini disebut dengan qadha.
3. Mu’ad, yaitu ibadah yang diulang sekali lagi dalam waktunya untuk menambah kesempurnaan, misalnya melaksanakan shalat secara berjamaah dalam waktunya yang ditentukan setelah melaksanakannya secara sendirian pada waktu yang sama.
4. Muthlaq, yaitu ibadah yang tidak dikaitkan waktunya oleh syara’ dengan sesuatu waktu yang terbatas, seperti membayar kiffarat, sebagai hukuman bagi pelanggar sumpah.
5. Muwaqqat, yaitu ibadah yang dikaitkan oleh syara’ dengan waktu tertentu yang terbatas, seperti shalat pada waktu subuh, zuhur, asar, magrib dan isya. Termasuk juga puasa pada bulan ramadhan.
6. Muwassa’, yaitu ibadah yang lebih luas waktunya dari yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban yang dituntut pada waktu itu, seperti shalat lima waktu. Seorang yang shalat diberikan kepadanya hak mengerjakan shalatnya di awal waktu, di pertengahan dan di akhirnya.
7.. Mudhayyaq (mi’yar), yaitu ibadah yang waktunya sebanyak atau sepanjang  fardhu atau di-fardhu-kan dalam waktu itu, seperti puasa. Dalam bulan ramadhan, hanya dikhususkan untuk puasa wajib dan tidak boleh dikerjakan puasa yang lain pada waktu itu seperti puasa sunnah, nazar dan lain-lain.
8.  Dzusyabain, yaitu ibadah yang mempunyai persamaan dengan mudhayyaq dan mempunyai persamaan pula dengan muwassa’, seperti pada ibadah haji. Dari segi pelaksanaanya, ibadah haji menyerupai mudayyaq, karena hanya diwajibkan sekali dalam setahun, dan dari segi keberlanjutan bulan-bulan haji itu menyerupai muwassa’.
9.  Mu’ayyan, yaitu ibadah tertentu dituntut oleh syara’, misalnya Allah SWT memerintahkan shalat, maka seorang mukallaf wajib melaksanakan shalat yang diperintahkan itu, tidak boleh mengganti dengan ibadah lain.
10. Mukhayyar, yaitu ibadah yang boleh dipilih salah satu dari yang diperintahkan. Seperti kebolehan memilih antara ber-istinja’ dengan air dan ber-istinja’ dengan batu.
11.  Muhaddad, yaitu ibadah yang dibatasi kadarnya oleh syara’, seperti shalat fardu dan zakat.
12.  Ghairu muhaddad, yaitu ibadah yang tidak dibatasi kadarnya oleh syara’, seperti mengeluarkan harta di jalan Allah SWT, memberi makan orang yang lapar dan memberi pakaian orang yang tidak berpakaian.
13.    Muratab, yaitu ibadah yang harus dikerjakan secara tertib. Maksudnya, sesudah pertama tidak disanggupi barulah dikerjakan yang kedua. Seperti kaffarat  jima’ yang dilakukan oleh orang yang sedang puasa ramadhan. Mula-mula memerdekakan budak , kalau budak tidak disanggupi berpindah kepada puasa dan bulan berurut-urut. Kalau puasa tidak sanggup, berpindah kepada memberi makan 60 orang miskin.
14.  Ma yaqbal al-takhyir wa la yaqbal al-taqdim, yaitu ibadah yang dapat di-ta’khir-kan (dilambatkan) dan tidak dapat didahulukan dari waktunya, seperti shalat magrib dan puasa. Shalat magrib boleh dijama’ taqdimkan ke waktu isya’ dan tidak boleh dijama’ taqdimkan ke waktu asar. Puasa juga dapat dita’khirkan ke waktu-waktu yang dibolehkan puasa di dalamnya, seperti puasa orang yang sakit atau sedang dalam berpergian. Kepada mereka dibolehkan menta’khirkan  puasanya setelah bulan ramadhan.
15.   Ma yaqbal al-taqdim wa la yaqbal al-ta’khir, yaitu ibadah yang boleh didahulukan dari waktunya, tetapi tidak boleh ditunda dari waktunya, seperti shalat ashar dan isya. Shalat ashar bisa didahulukan pelaksanaanya ke waktu dhuhur, tetapi tidak boleh dita’khirkan ke waktu magrib, dan shalat isya’ bisa pula didahulukan ke waktu magrib tetapi tidak bias ditunda ke waktu subuh.
16.    Ma la yaqbal al-taqdim wa la ta’khir, yaitu ibadah tidak dapat didahulukan dan ditunda dari waktunya, seperti shalat subuh. Shalat subuh tidak dapat didahulukan ke waktu isya’ dan tidak pula dapat ditunda ke waktu dhuhur.
17.    Ma yajibu ‘ala al-faur, yaitu ibadah yang mesti segera dilaksanakan, seperti menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan zakat yang telah memenuhi persyaratan.
18.    Ma yajibu ‘ala al-tarakhi, yaitu ibadah yang boleh dilambatkan pelaksanaanya, seperti nazar yang mutlak dan kaffarat.
19.    Ma yaqbal al-tadakhul, yaitu ibadah yang dapat diterima secara tadakhul (masuk-memasuki). Dengan kata lain ibadah yang dapat dengan sekali pelaksanaan menghasilkan dua ibadah sekaligus, seperti dalam pelaksanaan haji sudah termasuk didalamnya pelaksanaan umrah, dan dalam pelaksanaan puasa qadha pada hari senin termasuk didalamnya pelaksanaanya puasa sunnah, wudu’ untuk berbagai ibadah dapat dilakukan satu kali, seperti wudu’ untuk baca Al-Qur’an dapat digunakan untuk shalat.
20.  Ma la yaqbal al-tadakhul, yaitu ibadah yang tidak dapat menerima secara tadakhul, seperti shalat, zakat, sedekah, hutang, haji dan umrah. Orang yang melaksanakan dua shalat, qadha dan tunai, maka menurut syafi’iyah shalatnya tidak sah, sedangkan menurut jumhur fuqaha sah untuk tunai dan tidak untuk qadha. Orang yang memberikan hartanya kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah sunat, maka yang dipandang sah adalah zakat. Orang yang berniat dua haji dan dua umrah, hanya sah satu haji dan satu umrah.
21.  Ma ukhtulifa qabul al-tadakhul, yaitu ibadah yang diperbedakan para ulama tentang dapat atau tidaknya secara tadakhul, seperti masuknya wudu’ ke dalam mandi.
22.  Ma ‘azhimatuhu afdhal min rukhshatih, yaitu ibadah yang azimah-nya lebih utama dari rukhsah-nya, seperti istinja’ dengan air lebih utama dari istinja’ dengan batu.
23.  Ma rukhsatuh afdhal min ‘azhimatih, yaitu ibadah yang rukhsah-nya lebih utama dari ‘azimah-nya, seperti shalat qashar (meringkas shalat) dalam perjalanan tiga hari lebih utama dari menyempurnakanya (azimah).
24.  Ma yaqbal fi jami’ al-auqat, yaitu ibadah yang boleh diselesaikan (di-qadha) dalam segala waktu.
25. Ma la yuqdha illa fi mitsli watihi, yaitu ibadah yang tidak boleh di-qadha kecuali waktu semisalnya, seperti haji.
26.    Ma yaqbal ada’ wa al-qadha, yaitu ibadah yang boleh dilaksanakan di dalam atau di luar waktunya, seperti haji dan puasa. Akan tetapi qadha haji harus ditunggu masa haji berikutnya.
27.    Ma yaqbal ada’ wa la yaqbal al-qadha, yaitu ibadah yang menerima pelaksanaan dalam waktunya dan tidak menerima pelaksanaan di luar waktunya (tidak bisa di-qadha), seperti shalat jum’at.
28.    Ma la yushafu bi qadha’ wa la ada’, yaitu ibadah yang tidak disifatkan dengan tunai dan tidak pula dengan qadha, seperti shalat sunah mutlaq dan memutuskan perkara atau memberi fatwa.
29.    Ma yataqaddar waqt ada’ih ma’a qabulih li ta’khir, yaitu ibadah
yang terbatas waktu meng-qadha-nya, tetapi dapat juga dikerjakan sesudah lewat waktu qadha itu, seperti puasa yang waktunya ditentukan dalam setahun sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Tetapi diterima juga qadha itu bila dikerjakan sesudah waktunya.
30.  Ma yakun qadha’uh mutarakhiyan, yaitu ibadah yang boleh di-qadha kapan saja dikehendaki dan tidak perlu disegerakan. Menurut golongan syafi’iyah shalat yang terlewat karena tertidur atau lupa tidak perlu disegerakan meng-qadha-nya.
31.    Ma yajibu qadha’uh ‘ala al-faur, yaitu ibadah yang wajib segera di-qadha, seperti haji dan umrah yang dirusakkan.
32.    Ma yadkhuluh al-syarth min al-‘ibadat, yaitu ibadah yang bisa dilaksanakan atas dasar sesuatu syarat, seperti nazar. Ibadah ini dapat dikaitkan dengan suatu syarat.
33.    Ma la yaqbal al-ta’liq wa la al-syarth, yaitu ibadah yang tidak bisa digantungkan kepada suatu syarat, seperti puasa dan shalat yang telah diwajibkan oleh syara’.
34.   Ma yu’tabar bi waqt  fi’lih la liwaqt wujubih, yaitu ibadah yang dipandang waktu pelaksanaanya, bukan waktu wajibnya, seperti suci untuk shalat, menghadap qiblat dan menutup aurat dalam shalat. Contoh lain adalah keadilan, seorang saksi dipandang keadilanya pada waktu pelaksanaan kesaksian, bukan waktu menyaksikan suatu peristiwa.
35.    Ma yu’tabaru bi waqt wujubih, yaitu ibadah yang dipandang dengan waktu wajibnya, seperti meninggalkan shalat yang wajib dalam hdhar (waktu hadir, tidak berpergian) lalu di-qadha dalam saffar. Dalam keadaan seperti ini shalat qadha-nya tidak boleh dilakukan dengan cara qashar, meskipun ketika itu seseorang dalam keadaan bepergian, karena yang dipandang adalah waktu wajibnya, yang dalam hal ini adalah waktu hadir.

36.    Ma ukhtulifa fi i’tibarih bi waqt wujubih, yaitu ibadah yang diperselisihkan tentang apakah yang dipandang adalah waktu wajib dan waktu pelaksanaanya, seperti shalat yang ditinggalkan dalam saffar bila di-qadha di waktu hadhar. Ulama yang memandang kepada waktu wajibnya, maka mendahulukan shalat qadha lebih utama. Sedangkan ulama yang memendang pada waktu pelaksanaanya, berpendapat bahwa mendahulukan shalat hadhar lebih utama.

- Copyright © 2013 Irbah Baihaqi - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -