- Back to Home »
- Kisah Ajaib Bersama Tukang Tambal Ban
Ini kisah yang tak mungkin terlupakan. Pertemuan dengan seorang tukang tambal ban yang benar-benar mengubah hidup. Ternyata benar, membantu orang orang lain itu dapat memudahkan aliran rezeki.
Pagi-pagi buta, dengan berkendara sepeda motor, saya mengantar istri mengikuti pelatihan Guru. Baru setengah perjalanan, tiba-tiba motor mudah oleng ke kanan dan ke kiri. Ketika diperiksa, ban depan gembos. Saya merutuk karena merasa tersinggung.
Bukan apa-apa, saya juga harus membagi waktu ke kantor supaya tidak terlambat. Tetapi ini malah bocor. Akhirnya terpaksa istri naik bus kota. Sementara saya mencari tukang tambal ban terdekat. Nyatanya, sejauh berjalan sambil ngos-ngosan, tak tampak ada tukang tambal ban. Saya memaki habis-habisan.
Untunglah, di dekat sebuah pasar, ketemu juga dengan tukang tambal ban. Dengan semangat segera saja motor saya tepikan. “Maaf pak. Belum operasi. Mungkin nanti siang atau sore. Saya belum tidur,” kata si tukang tambal. Amalaakk, rusuh hati saya. Kemudian dia menujukkan beberapa lokasi tambal ban. Kembali saya merutuk. Jauh nian semua data yang diberikan. Padahal belum sarapan lagi.
Apalagi, dua lokasi tambal ban juga cuma terlihat tulisannya saja. Alias belum muncul tukangnya. Saya melirik jam. Sudah hampir jam delapan. Baru tukang tambal ketiga, saya bisa bernapas lega. Tanpa bicara terlalu banyak, si tukang langsung main tangkas. Cepat dan ringkas sekali, batin saya.
“Sampean duduk saja mas sambil menunggu,” katanya, sembari menunjuk kayu persegi panjang. Namun belum sempat duduk, saya merasakan sakit di perut. Saya jadi ingat, sebelum berangkat saya masih sempatkan minum kopi sisa tadi malem. Mungkin itulah penyebab sakitnya perut. Saya mengamati sekitar, tak ada tanda-tanda toilet. Pinggir jalan semuanya rumah-rumah besar yang tak mungkin saya tumpangi ke toilet.
“Pak, saya kan sedang sakit perut ya. Kira-kira di mana ya pak, ada toilet?” pak tukang tambal ban menoleh. Ia tampak berpikir sebentar. Ia menoleh ke arah depan. Saya baru paham maksudnya. Di depan, tepat sebrang jalan, terdapat sungai besar Kali Mas. Sungai besar itu dibentang jalan dengan jembatan melegkung. Tapi, mana mungkin buang hajat di sungai besar begitu? Bisa keliatan semua pengendara jalan ya lumayan memalukan tokh?
“Masak di sungai pak? Apa tidak ada tempat lain?”
“Bukan di sungainya mas. Tapi di bawah jembatannya.”
“Bawah jembatan?? Maksudnya?”
“Coba nanti sampean sebrangi jalan. Turun di sisi jembatan. Tepat di bawah jembatan kan ada pembatas sungainya. Sampean beolnya pas di bawah jembatan itu. Di situ juga tempat saya tidur..”
Saya melongo. Tempat tidur??
“Sampean bingung? Mari saya antar saja,” tukas pak Tamban Ban. Kami bersama menyebrang jalan. Saat tiba di pinggir sungai, ternyata tepi pagar sungai memiliki jalan kecil berukuran setengah meter. Kami melompat ke jalan kecil. Pak Tambal Ban menunjuk ke bawah Jembatan. Di sana, terlihat pagar bambu yang menutupi batas antara luar dan dalam jembatan.
“Sampean buka pintunya. Masuklah, di sana ada tempat tidur saya. Ada tangga turun ke sungai juga. Hati-hati ya mas..” jelasnya detil. Saya segera bergerak, sementara pak Tambal Ban naik kembali ke atas jalan raya.
Saya termangu saat pintu dibuka. Pas di tengah jembatan, terlihat bangunan kecil yang dipagar kayu dan kardus. Sepertinya, itulah rumah yang dimaksud pak Tambal Ban. Saya mengelus dada. Bagaimana ia bisa betah tidur di tempat macam ini. Apa ia tidak khawatir, tiba-tiba air sungai meluap?
Saya segera mendekati rumah teramat sangat-sangat paling sederhana (RTSSPS) itu. Sebab isi perut makin tak bisa ditahan lagi. Langkah saya sempat terhenti, tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di dalam rumah mungil. Sesuatu itu seperti bangun. Dan, kepalanya terlihat jelas. Rasanya wajah terasa pias dan pucat saat tahu apa yang bergerak itu. Saya segera bersiap-siap jika terjadi sesuatu membahayakan. Apalagi, saat kepalanya menoleh, dan lidahnya menjulur-julur mengerikan.
Guk, guk, gukkkkkkk!!
Anjing!
Sialan. Pekik saya membatin sembari ambil langkah seribu. Binatang paling saya takuti itu terus saja menyalak keras. Membuat jantung serasa mau copot, berlari melompati pagar. Baru berhenti pas di awal turun sungai. Menata napas yang kencang.
“Loh, kok cepat sekali mas?” tanya pak Tambal Ban. Saya tersenyum simpul. Gara-gara dicekam rasa takut, keinginan saya buang besar jadi hilang. Kembali saya duduk di kayu persegi panjang. “Iya. Terima kasih pak. Wah, nggak tau saya jadinya jika tak dikasih tahu tadi,” jelas saya pura-pura. Tetapi beruntung juga, salakan itu Anjing bisa redakan isi perut. Pak Tambal Ban cuma membalas senyum.
“Asli Surabaya pak?” tanya saya.
“Oh, tidak nak. Saya asli Nganjuk. Di Surabaya, saya hanya nyari nafkah,” katanya. Saya terhenyak. Dari Nganjuk? Sampai sejauh itu cari nafkah? Apa mencukupi hasilnya?
“Sehari bisa dapat pelanggan berapa pak?” tanya saya, untuk mengetahui taksiran penghasilan. “Kalau sekarang nggak nentu Nak. Nggak kayak zaman dulu. Kadang sehari malah nggak dapat objekan sama sekali. Kadang bisa dapat 3 atau 4 objekan. Kalau dapat banyak, tapi kan tenaga juga terbatas bila sekaligus.”
Saya manggut-manggut. Pembicaraan kami terus berlangsung, sembari pak Tambal Ban menyelesaikan tugas. Untuk urusan pulang kampung, pak Tambal Ban pulkam setiap bulan. Uang sebulan hasil nambal ia tabung sedemikian rupa sehingga cukup buat hidup di Surabaya, biaya pulkam dan tentu saja, buat tambahan nafkah istri dan anak-anaknya.
“Kenapa nggak nyari kerja di Nganjuk saja pak?”
“Haha, ya pekerjaan ini sudah saya mulai sejak tahun 80-an nak. Mau kerja di kampung, memangnya saya mau kerja apa? Sawah nggak punya. Ya nggak apa-apa, yang penting Tuhan masih memberikan saya pekerjaan, yang bisa buat nyukupi anak-istri,” katanya tenang. Saya terharu. Saya belum bisa membayangkan, bagaimana caranya bapak ini bisa mengatur biaya hidupnya. Hidup di bawah jembatan, mungkin bagian dari caranya menghemat pengeluaran.
“Sudah nak. Silahkan dicek dulu,” katanya. Saya segera cek kondisi ban. Setelah yakin ban sudah aman, saya memberinya uang nominal duapuluh ribuan.
“Waduh nakk. Ini kan masih pagi. Saya tak uang kembalian. Apa nggak ada yang pas saja?” saya memeriksa dompet, saku dan tas. Kosong melompong. “Sampean bawa saja dulu. Kalo dapat pecahan, ke sini lagi aja,” katanya mengusulkan. Baik banget sih, batin saya. “Tak usah kembalian pak. Buat sampean aja semuanya.”
“Loh? Semuanya? Uang sebanyak begini???
Sudah nak, nggak apa-apa kok. Rezeki itu
sudah ditentukan yang Mahakuasa. Sampean bawa saja.
Itu kebanyakan klo saya ambil semua. Kasihan sampean itu..”
“Santai aja pak. Ambil saja,” tegas saya.
“Sebanyak ini??” saya mengangguk heran. Ia menatap saya tak percaya. Sepertinya ia merasa nominal uang itu memang terlalu besar sebagai pembayaran nambal ban. Saya langsung hidupkan gas motor. Segera berlalu dari hadapannya. Meninggalkannya yang masih termangu.
Sepanjang perjalanan, saya tak habis pikir. Kok ya ada orang macam pak Tambal Ban. Sosok pekerja keras, mau hidup prihatin di rumah bawah jembatan, dan menabung uang meski tak seberapa demi anak-istri.
Lebih-lebih, ketika terngiang raut wajah tak percayanya ketika menerima uang dua puluh ribuan. Uang yang buat saya bisa habis 1-2 hari. Tapi buat pak Tambal Ban, mungkin bisa buat tambahan tabungan, buat pulkam dan beli oleh-oleh anak di rumah.
Saya jadi merasa bersalah sama Tuhan. Mengeluh karena pekerjaan dengan gaji yang tak seberapa, belum cukup buat beli rumah sendiri, mengeluh belum punya HP BB, mengeluh makan saja di warung biasa, bukan di restoran. Juga kenapa saya tidak ditakdirkan jadi anggota dewan saja, bisa beli mobil dan rumah sendiri.
Tetapi pak Tambal Ban kini berhasil mengubah semua kehidupan saya. Kini saya merasa sudah kaya raya. Ya, apa sih kebutuhan saya yang tak terpenuhi dalam hidup ini?
Motor saya punya, kontrakan bagus bisa saya sewa, pekerjaan satu tempat dengan keluarga saya miliki, handphone juga ada, televisi di ruang tamu, dan masih banyak lagi yang lain. Betapa, banyaknya anugerah rezeki dari yang Mahakuasa!
Satu lagi, untung saja saya bukan koruptor. Jadi, tak perlu masuk penjara. (Sumber:Kompasiana.com)